Indikator kebahagiaan bagi setiap orang memiliki perbedaan, ada orang yang bahagia karena bisa makan atau minum, ada orang yang bahagia karena punya rumah atau kendaraan, ada yang bahagia karena merasa aman, disayangi, dihargai, ada yang bahagia karena masih hidup bahkan ada juga yang bahagia diatas penderitaan orang lain.

Tingkat kebahagiaan negara-negara saat ini dukur dengan menggunakan metode analis gallup dengan indikator PDB, dukungan sosial, kebebasan pribadi, dan tingkat korupsi setiap daerah, seperti beberapa negara yang dianggap paling berbahagia didunia yaitu Finlandia, Denmark, Swiss, Islandia, Belanda, Norwegia, Swedia, dan Luxembourg (Sumber : World Happiness Report).

Dalam analisis tersebut, Indonesia berada pada posisi 82 dari total 193 negara dan negara Afghanistan dilaporkan World Happiness Report sebagai negara paling tidak berbahagia didunia.

Untuk Indonesia, provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi saat ini adalah Maluku Utara, disusul Kalimantan Utara, Maluku, serta Jambi, sementara untuk Provinsi dengan indeks kebahagiaan terendah adalah Papua, Bengkulu, dan Banten.

Pernyataan tentang kebahagiaan saat ini menjadi pembahasan di Papua setalah Gubernur Papua Lukas Enembe memberikan pernyataan pada tanggal 8 Februari 2022 :

“Kehidupan orang Papua tidak bahagia. Orang Papua tidak happy di seluruh Papua. Di seluruh muka bumi ini yang tidak happy itu orang Papua. Kamu catat itu”. Beberapa daerah seperti Intan Jaya, Nduga, dan Pegunungan Bintang “menangis” dengan kondisi yang dialami oleh orang-orang Papua. Orang Papua tidak hidup dalam kebahagiaan. Intan Jaya menangis, Puncak menangis, Nduga menangis, Pegunungan Bintang menangis, dan Maybrat menangis. “Orang Papua menangis. Orang Papua tidak hidup aman di negeri kita sendiri. Kami lahir bukan untuk itu”.

Pernyataan Gubernur Papua ini kemudian mengundang banyak pertanyaan, kenapa Gubernur Papua sampaikan orang Papua tidak Happy atau Bahagia ?

Secara garis besar dari pernyataan Gubernur Papua yaitu Intan Jaya Menangis, Puncak Menangis, Nduga Menangis, Pegunungan Bintang Menangis, dan Maybrat Menangis. dapat artikan posisi ketidakbahagiaan orang Papua ini diakibatkan oleh konflik yang terjadi di beberapa daerah tersebut.

Jika konflik yang terjadi di Papua menjadi salah satu pemicu kenapa Gubernur Papua Lukas Enembe berkata orang Papua tidak bahagia, maka penulis coba untuk menganalisis pernyataan Gubernur Papua dengan melihat kebutuhan dasar orang Papua mana yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan konflik dan orang Papua tidak bahagia.

Untuk melihat kebutuhan dasar, kita dapat menggunakan teori hirarki kebutuhan dasar manusia milik Abraham Maslow, bahwa ada 5 kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi agar tidak terjadi konflik. Pemenuhan kebutuhan dasar ini dibagi menjadi beberapa tingkatan tertentu, yaitu kebutuhan : fisiologis, keamanan, rasa cinta, harga diri, dan aktulisasi diri.

Kebutuhan pertama fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia, antara lain : kebutuhan oksigen, cairan (minuman), nutrisi(makanan), istirahat dan tidur, aktifitas keseimbangan suhu tubuh serta kebutuhan seks. Kebutuhan ini dapat disebut sebagai kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Kedua ada Kebutuhan keamanan, kebutuhan ini memberikan rasa aman dan perlindungan kepada manusia, setiap manusia berhak mendapat rasa aman. Kebutuhan ini dibagi menjadi 2 yaitu : Perlindungan Fisik, Perlindungan dari ancaman terhadap tubuh seperti kecelakaan, penyakit, bahaya lingkungan dan Perlindungan Psikologis Perlindungan dari ancaman peristiwa yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang

Ketiga ada Kebutuhan Rasa Cinta, kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, memberi dan menerima kasih sayang, kehangatan, persahabatan dan kekeluargaan. Selanjutnya, Keempat ada Kebutuhan akan harga diri, kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain serta mendapatkan pengakuan dari orang lain

Kelima ada Kebutuhan Aktualisasi, kebutuhan tertinggi dalam hierarki Maslow yang berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain atau lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya.

Teori kebutuhan dasar ini merupakan sebuah hirarki sehingga satu kebutuhan harus terpenuhi terlebih dahulu sehingga dapat melangkah ke kebutuhan selanjutnya hingga masuk di jenjang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Perjalanan konflik yang terjadi di Papua sangat erat kaitannya dengan bagaimana kebutuhan dasar orang Papua bisa terpenuhi atau tidak, jika kebutuhan dasar terpenuhi maka sudah pasti orang Papua hidup bahagia, namun jika tidak terpenuhi maka pernyataan seperti yang disampaikan oleh Gubernur Papua akan terus diungkapkan.

Berkaca dari pernyataan Gubernur Papua maka kita perlu membedah satu persatu kebutuhan dasar orang Papua secara umum yang terpenuhi maupun tidak terpenuhi untuk mendapatkan maksud dari pernyataan tersebut.

Pertama, melihat kebutuhan fisiologis orang Papua yaitu kebutuhan makan dan minum sebagai kebutuhan paling dasar. seseorang tidak akan bahagia jika belum makan dan minum atau dalam keadaan kelaparan. Contoh paling nyata terjadi di kabupaten Asmat yaitu Gizi Buruk atau yang terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang lantaran terdapat kasus dehidrasi berat akibat diare dan gizi buruk atau kelaparan. Bahkan kasus di dua kabupaten tersebut merengut korban jiwa.

Faktor makan dan minum menjadi salah satu indikator, mengapa orang Papua disebut tidak bahagia di daerahnya sendiri. Bukan hanya di daerah Asmat dan Pegunungan Bintang, namun dibeberapa daerah lain seperti Nduga dan Intan Jaya sempat terjadi krisis bahan makanan karena konflik yang terjadi disana, masyarakat mengungsi, dan kekurangan stok akibat kesulitan memasok bahan makanan.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama bahwa ketika masyarakat kita lapar maka setiap kepala daerah dan organ perangkat daerah lainnya harus bekerja ekstra untuk menjawab keluhan masyarakatnya. Dengan harapan harus ada didalam standar gizi yaitu 4 sehat dan 5 sempurna.

Kedua, Kebutuhan akan rasa aman, jika orang Papua tidak merasa aman tinggal didaerahnya sendiri maka hal tersebut juga memicu ketidakbahagiaan. Tingginya angka konflik horizontal dan konflik vertikal di Papua menyebabkan orang Papua kehilangan rasa aman.

Hilangnya rasa aman terjadi akibat konflik horizontal yaitu konflik yang terjadi antara masyarakat dan masyarakat, konflik ini sering terjadi akibat perbedaan kepercayaan, pengambilan keputusan dalam politik, hingga permasalahan kekeluargaan. Contoh konflik horizontal adalah perang suku atau konflik kepentingan antar kelompok.

Sedangkan, konflik vertikal yang sering terjadi adalah konflik yang terjadi antara pemegang kekuasaan atau pemerintah dengan masyarakat, terjadinya distrust atau kehilangan kepercayaan hingga ada sentiment politik kemerdekaan yang melibatkan kelompok pro referendum dan militer negara.

Rasa aman berkaitan dengan human security atau keamanan manusia sebagai pribadi dan untuk menjamin rasa aman ini maka Kepolisian sebagai penegak keamanan di daerah memiliki peran sangat strategis dengan didukung oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat Papua untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat.

Ketiga, ada kebutuhan Afeksi atau kebutuhan untuk disayangi dan dimiliki, ini disebut juga sebagai kebutuhan sosial. kebutuhan ini sering kali terabaikan karena didalam kegiatan harian lebih banyak pendekatan kepentingan dari pada pendekatan dari hari-kehati. Kasih sayang adalah kunci kebahagiaan.

Banyak orang Papua merasa tidak disayangi, hal ini terbukti ketika banyak ujaran kebencian, ungkapan rasis, hingga pendekatan kekerasan yang dilakukan. Ini menjadi salah satu hal yang menunjukan betapa sukarnya kebahagiaan itu diciptakan di Papua tanpa kasih sayang, Namun, orang Papua dikenal sebagai orang yang penuh kasih, sehingga yang harus dibangun saat ini adalah kepercayaan antar pihak untuk memandang setiap warga negara sebagai “kita” bukan “mereka”. Jika hal itu dilakukan maka itu juga akan menjawab kebutuhan dasar keempat yaitu kebutuhan untuk dihargai.

Kelima, puncak dari kebutuhan dasar ini adalah aktualisasi diri atau pengembangan diri, jika seseorang dapat melakukan pengembangan diri dengan baik maka dapat dikatakan orang tersebut dapat berbahagia, namun jika orang tersebut tidak memenuhi kebutuhan dasar dari tingkat pertama hingga kelima maka kebahagiaan akan lebih susah untuk didapatkan.

Orang Papua saat ini dituntut untuk mengaktualisasikan diri, banyak yang berpikir untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan memimpin daerahnya. Banyak juga yang terus mempersiapkan dirinya agar dapat bersaing dengan orang non asli Papua di Papua dan di Indonesia secara umum. Ini menunjukan bahwa ada kesadaran untuk menciptakan kebahagiaan sendiri.

Dari kelima kebutuhan dasar tersebut jika disinkronkan dengan pernyataan Gubernur Papua maka dapat kita simpulkan pernyataan Gubernur Papua tentang orang Papua tidak happy itu memiliki dasar yang kuat, namun jika kita lihat lebih luas dengan menggunakan kaca mata World Happiness Report, ada beberapa indikator lain yang harus kita hunakan yaitu pendapatan daerah, dukungan sosial, kebebasan pribadi, dan tingkat korupsi.

Menarik jika kita bahas tentang 4 hal tersebut, semenjak tahun 2001 hingga tahun 2021, pemerintah pusat telah memberikan Otonomi Khusus bagi Papua sebesar 138,65 Triliun (Data Kemenkeu 2021), dengan jumlah dana yang begitu besar dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang kecil serta sumber daya alam yang kaya, maka menjadi pertanyaan besar kenapa Gubernur Papua bisa sampaikan orang Papua tidak bahagia, padahal dengan dana tersebut kebutuhan dasar orang Papua dari makan dan minum, keamanan, disayangi, dihargai, dan aktualisasi diri semua dapat dipenuhi.

Dengan dukungan dana dan program dari pemerintah pusat kepada masyarakat Papua harusnya buat orang Papua bahagia, jika belum bahagia artinya ada yang salah didalam pengurusan dana dan program-program prioritas kepada orang Papua.

kesimpulan akhir untuk menjawab pernyataan Gubernur Papua adalah agar orang Papua bahagia maka semua kebutuhan dasar harus terpenuhi dengan dukungan pendapatan daerah Papua yang bagus, adanya dukungan sosial dari masyarakat nasional, kebebasan pribadi, dan tidak ada perilaku Korupsi Kolusi dan Nepotisme di Papua serta semua konflik di Papua harus diselesaikan secara adil.

Oleh: Steve Rick Elson Mara, S.H, M.Han

Penulis Buku Kita Semua Mau Hidup Damai