Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang mulai bergulir masuk sejak tahun 2002 itu bersifat hot money. Uang yang disediakan dalam jumlah besar untuk Papua karena ada banyak darah manusia Papua yang telah dikorbankan atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Karena uang otsus Papua adalah hot money, maka uang ini berkarakter easy come easy go. Dalam sistem perbankan, istilah hot money dimaksudkan untuk uang yang bersumber dari segala bentuk aktifitas ilegal individu ataupun kelompok tertentu.

Dalam konteks Papua dan uang otsus Papua, istilah hot money dimaksudkan untuk uang yang bersumber dari jasa – jasa perjuangan kelompok nasionalis Papua di masa lalu, yang telah banyak korbankan darah dan nyawa mereka.

Lebih jelasnya, uang otsus Papua ada saat ini bukan karena perhatian dan kebaikan negara kepada orang Papua. Tetapi ini uang ” tebusan darah dan nyawa ” dari negara terhadap kejahatan terhadap kemanusian atas orang Papua di masa lalu.

Uang Otsus Papua disebut kemudian berkarakter easy come easy go pada periode pertama implementasinya dari tahun 2001 – 2021, karena uang otsus Papua ibarat kentut. Terdengar bunyinya. Tercium baunya wujudnya tak terlihat. Hanya di era Gubernur Lukas Enembe, uang otsus Papua bisa sedikit banyak kelihatan wujudnya.

Namun belum bisa juga juga menghilangkan karakter easy come easy go. Uang Otsus dalam jumlah trilyunan rupiah pada periode 20 tahun pertama, deras mengalir masuk, deras juga mengalir keluar ke kelompok separatis Papua, baik dalam negeri maupun luar negeri, dalam bentuk pendanaan underground banking.

Misalnya uang Otsus yang mengalir ke kelompok separatis luar negeri. Pernah ada Gubernur Papua memiliki aset dan uang di rekening sebesar Rp580 milyar pada salah satu bank di London, Inggris. Aset dan uang tersebut kemudian disita oleh negara.

Pernah juga ada Gubernur Papua yang membuka kantor dagang Papua di Eropa dan China, namun kantor itu kemudian ditutup karena diduga oleh Jakarta bisa menjadi saranah TPPU dan pendanaan gerakan separatis Papua di luar negeri.

Pernah juga ada rekening beberapa mahasiswa Papua di luar negeri dan di dalam negeri yang dinilai tidak wajar oleh PPATK.

Pernah juga ada uang milyaran rupiah dimasukan dalam kantong – kantong plastik dan tas kulit untuk diselundupkan oleh dua orang kurir melintasi batas negara RI – PNG untuk membantu para keluarga pejabat Papua yang hidup di luar negeri. Karena nilai kekerabatan dan kekeluargaan sangat kental di masyarakat Papua, jadi kalau ada anggota keluarga yang menjabat Gubernur, Bupati atau Walikota, dia wajib membantu anggota keluarga lainnya yang tidak beruntung nasibnya.

Kalau anggota keluarga tersebut bagian dari kelompok ULMWP dan pengikut Benny Wenda sebagai pimpinan ULMWP, bantuan dana Otsus tersebut tentu akan dipersoalkan oleh negara. Namun bagi orang Papua, Benny Wenda dan ULMWP wajar dan layak menikmati dana Otsus karena alasan klisenya, aktivitas merekalah yang terus eksis sehingga membuat Papua mendapat perhatian serius dari Jakarta.

Kalau tidak ada aktivitas internasional Benny Wenda dan ULMWP, Papua akan dilupakan dan di-anak tirikan dalam Republik. Dengan kata lain, posisi Benny Wenda dan ULMWP sebagai instrumen politik Papua untuk melakukan bargaining position dengan Jakarta. Karena itu Benny Wenda dan ULMWP akan selalu mendapat ” bantuan ” dana Otsus setiap tahun.

Demikian pula dengan mengalirnya dana Otsus ke kelompok TPNPB atau KKB. Pola pendanaannya tetap bersifat underground banking. Saya memiliki beberapa catatan tentang bentuk dan mekanisme underground banking uang Otsus sampai ke tangan KKB.

Gambaran umumnya saya cerita beberapa contoh seperti ini. Ada pendeta yang berprofesi ganda sebagai pengusaha dan terlibat langsung pengadaan senjata api dan amunisi buat KKB. Senjata dan amunisi di pesan dari Maluku dan Philipina Selatan.

Ada juga beberapa kepala kampung yang terlibat memberikan dana desa untuk pengadaan senjata dan amunisi terhadap KKB Papua.

Ada juga bantuan-bantuan sosial untuk berbagai aktivitas sosial masyarakat. Bantuannya sebesar Rp5 milyar misalnya, kegiatannya sosialnya cuma menghabiskan dana Rp200 juta. Sisahnya sekitar Rp4,8 milyar masuk ke kantong pribadi dan untuk KKB.

Masih ada beberapa catatan saya tentang pendanaan pola underground banking ke ULMWP dan KKB Papua, yang dalam perspektif orang Papua, itu hal biasa dan lumrah. Itu sudah menjadi life style orang Papua turun temurung.

Namun dari perspektif Jakarta itu masuk dalam kategori TPPU dan pendanaan separatis / terorisme yang berpotensi sangat serius mengancam keamanan negara.

Semoga KPK dalam mendalami korupsi dana Otsus Papua, bisa menggunakan perspektif helipcoter view dalam memberantas korupsi di Papua.

Oleh: Marinus Mesak Yaung

Dosen Universitas Cenderawasih dan Calon Walikota Jayapura tahun 2024.