Bagaimana bisa, pengamat militer Conni Rahakundini Bakrie dan Mardigu Wowiek, berbicara di podcast Helmy Yahya, tentang Pernyataan Menhan Prabowo di forum Sangri-La Dialogue, yang menframing saran Prabowo sebagai saran masuk akal dan mereka tiga ini mempersalahkan Presiden Ukraine Vladimir Zelensky dan Menhannya yang menolak saran Prabowo dan menganggap saran tersebut, adalah bentuk sikap politik yang Pro – Rusia.

Untuk menframing asumsi mereka tiga, Ibu Conny mencitrakan Presiden Zelensky sebagai Presiden yang tidak cintai rakyatnya. Presiden yang memelihara perang untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan keuangan utk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Saya boleh simpulkan bahwa diskusi tiga pakar di bidangnya masing – masing ini, materinya bagus, tetapi narasi yg dibangun, tidak mendidik, provokatif, bersifat kontruktif karena berpotensi merusak integrasi bangsa atau NKRI HARGA MATI, dan membahayakan identitas politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif.

Mereka tiga lupa, dan mungkin juga bersama Menhan Prabowo, akan warisan garis kebijakan luar negeri Indonesia, yang telah diletakkan founding fathers kita, yakni MENDAYUNG DIANTARA DUA KARANG.

Filosofi mendayung diantara dua karang yang diwariskan Mohammad Hatta, itu artinya politik luar negeri yang tidak berpihak. Politik non blok. Politik yang mendukung prinsip non intervensi dalam piagam PBB.

Rusia dibawa kepemimpinan Presiden Putin, politik luar negerinya terlihat sangat ekspansionis. Sehingga Presiden Putin berani melakukan invasi militer ke crimea dan mendudukinya. Lalu Februari 2022, melakukan invasi militer ke wilayah Donbas, Ukraina Timur untuk mendudukinya.

Presiden Zelensky berhak dan benar posisinya mempertahankan tanah wilayah kedaulatan negaranya. Presiden Zelensky terpaksa harus menggunakan kekuatan militernya untuk melawan upaya pendudukan militer Rusia di Ukraina Timur.

Presiden Zelensky menghormati prinsip – prinsip Piagam PBB, Presiden Putin melanggarnya.

Indonesia sudah tentu berposisi mendukung prinsip Piagam PBB untuk prinsip non intervensi. Sehingga apa yang dinarasikan Pak Menhan Prabowo, Ibu Conny, Pak Mardigu, sesungguhnya adalah narasi yang terlihat bertentang dengan identitas politik luar negeri Indonesia, mendayung diantara dua karang.

Mereka mau Presiden Zelensky dan rakyat Ukraina setuju Referendum harus digelar di Provinsi Donetsk dan Provinsi Luhansk di wilayah Donbas Ukraina. Mereka mendukung invasi pencaplokan Wilayah Ukraina oleh Rusia, melalui tangan PBB, sebagaimana usulan Menhan Prabowo.

Menhan Prabowo, Ibu Conny, dan Pak Mardigu mungkin mengalami Amnesia politik. Ukraina itu memiliki sekutu kuat dan mampu bertahan menghadap perang dengan Rusia dalam waktu lama. Sekutu itu bernama Amerika Serikat dan Inggris.

Dua negara sekutu utama Ukraina ini sebenarnya adalah aktor great power di Pasifik, yang telah lama memainkan offshore balancing strategy untuk isu referendum Papua. Isu Referendum Papua yang dikampanyekan ULMWP terus bertahan dalam agenda pacific solution oleh negara – negara Melanesia dan beberapa negara Pasifik lainnya, karena dua negara sekutu Ukraina ini sebagai sponsor utama.

Kesimpulan dan sekaligus pesan saya, gajah di pelupuk mata tidak tampak, tetapi semut di seberang lautan tampak. Ada perang di Papua. Perang tentang rebutan ” kedaulatan atas tanah ” antara masyarakat adat Papua, dengan aparat keamanan Indonesia. Fokus selesai ini dulu. Baru melangkah selesaikan urusan perang dan konflik internal di negara lain.

Oleh: Marinus Mesak Yaung

Dosen Universitas Cenderawasih.